Senin, 13 Juni 2011

SAYA DAN PROFESI KONSELOR DALAM KAJIAN SOSIAL-BUDAYA SERTA MULTIKULTURALISME

Saya dan Profesi Konselor
Individu yang telah memutuskan untuk menjadi seorang konselor senantiasa memiliki sebuah keyakinan yang teguh untuk dapat melayani masyarakat. Keyakinan yang dibekali dengan berbagai keterampilan yang menunjang layanan Bimbingan dan Konseling. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa konselor merupakan salah satu profesi human services yang memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan profesi human services lainnya. Profesi konselor ini berorientasi pada perkembangan manusia sehingga nilai, prinsip, dan pendekatan konseling yang digunakan sangat berkaitan dengan perkembangan manusia. Untuk itu, dalam proses pembelajaran menjadi seorang konselor profesional adalah sebuah proses yang cukup panjang. Proses yang menghasilkan perubahan mengenai berbagai hal. Perubahan-perubahan yang terkait tentang pemahaman pribadi konselor tersebut serta peningkatan informasi dan wawasan yang kelak dibutuhkan konseli-konselinya.
Semua hal itu sudah mulai saya tanamkan sejak diri ini benar-benar ingin menjadi seorang konselor. Meskipun pada awalnya minat saya bukan konselor. Sempat terpikir bahwa saya telah salah jurusan saat pertama kali kuliah di jurusan Bimbingan dan Konseling. Perencanaan masa depan yang begitu saya minati, yaitu jurnalis, tidak dapat saya raih. Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai tertarik dengan Bimbingan dan Konseling. Ketertarikan saya bermula saat saya mulai memahami cara kerja konselor yang sebenarnya dalam Bimbingan dan Konseling di sekolah. Jujur saya katakan, saya tidak pernah merasakan kehadiran layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Hal ini pulalah yang menjadikan saya berkeinginan untuk menjadi seorang konselor profesional yang bisa memberikan layanan Bimbingan dan Konseling yang sesungguhnya di institusi pendidikan kelak.
Saya menyadari bahwa pribadi diri ini terkadang masih belum siap untuk menjadi seorang konselor. Masih ada setumpuk pekerjaan rumah yang harus saya jalani untuk mantap menjadi seorang konselor. Terutama untuk lebih mampu mengendalikan diri. Tak jarang berbagai tantangan dan hambatan datang untuk meruntuhkan keyakinan diri sebagai calon konselor. Keyakinan saya pun semakin tertantang ketika mengikuti perkuliahan Profesi Konselor dan Kajian Sosial Budaya dalam Bimbingan dan Konseling. Ada banyak hal yang dipelajari dan menjadi bahan renungan bagi diri saya. Untuk menjadi konselor profesional dibutuhkan berbagai hal seperti komitmen diri; pemahaman mengenai peranan-peranan konselor; berbagai keterampilan dan pengetahuan yang menunjang profesi konselor; isu-isu profesionalitas seorang konselor; nilai, prinsip, serta etika yang harus dimiliki seorang konselor profesional. Semua hal itu dapat membantu menuntun saya untuk menjadi seorang konselor profesional. Hal-hal itu pula yang menyemangatkan keyakinan diri saya kembali.
Sebagai seorang calon konselor, saya harus benar-benar memahami identitas pribadi seorang konselor profesional. Seorang konselor profesional diidentifikasikan memiliki karakteristik sebagai berikut: memiliki motivasi-spirit yang kuat, berkemampuan untuk hadir bagi orang lain, mengenali dan menerima kekuatan pribadi individu, gaya konseling berorientasi pada pribadi, memiliki keinginan untuk terbuka dan berada dalam resiko. Selain itu, konselor profesional juga memiliki apresiasi dan respek terhadap diri, berkeinginan untuk membantu dan berperan sebagai model untuk konseli, berani melakukan sesuatu yang berguna dan mengakui kesalahan yang telah diperbuat, berorientasi pada pertumbuhan, serta yang tidak kalah penting yaitu memiliki rasa humor yang baik. Bila disesuaikan antara identitas diri seorang konselor profesional dengan kepribadian yang saya miliki memang belum sesuai seutuhnya. Ada beberapa karakteristik diri yang saya miliki sesuai dengan identitas diri konselor. Saya memiliki rasa humor yang baik, saya senang sekali untuk melucu di depan teman-teman. Ketika saya melihat senyum dan tawa yang tercipta di wajah mereka, rasanya ada kepuasan dalam hati saya karena telah berhasil menghibur mereka. Selain itu, saya selalu senantiasa hadir untuk teman-teman dan orang-orang terdekat saya. Menurut saya kehadiran mereka memiliki arti yang istimewa karena memberikan berbagai warna pada kehidupan saya. Saat mereka ingin menceritakan keluh kesah, masalah, dan kebahagiaan yang dialami, saya selalu berusaha ada untuk mereka walau hanya lewat SMS atau telepon. Ada setangkup perasaan gembira pada hati saya karena bisa menjadi seseorang yang berguna bagi mereka, meskipun hanya berperan sebagai pendengar aktif. Sikap lain yang saya miliki yaitu senantiasa berpikir positif pada orang lain. Saya berkeyakinan bahwa orang lain memiliki kelebihan dan kelemahan diri, begitu juga saya. Seperti ajarkan orangtua saya bahwa kita tidak boleh menyukai maupun membenci orang lain secara berlebihan. Hal itu yang selalu saya ingat. Di sisi lain, saya termasuk individu yang terbuka. Sebagian besar orang-orang yang mengenal saya berpendapat bahwa saya seseorang yang asyik diajak berbincang. Saya pun tak sungkan untuk bertanya berbagai hal yang tidak saya ketahui. Saya termasuk orang yang memiliki sensitivitas yang cukup tinggi, bahkan bisa dibilang agak melankolis. Sebagian orang-orang terdekat saya pun mengakuinya. Ya, itulah saya cukup mudah memunculkan rasa empati dalam diri saya. Karakteristik ini juga yang terkadang membuat saya marah. Akantetapi inilah tantangan yang harus saya taklukkan, yaitu pengelolaan emosi. Pengelolaan kelemahan diri adalah proses pembelajaran. Sebuah pembelajaran menuju perubahan sehingga mencapai nilai diri ideal bagi seorang calon konselor.
Seorang Calon Konselor dalam Kajian Sosial-Budaya dan Multikulturalisme
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki keberagaman kultur atau biasa disebut multikultural. Hal ini terlihat pada diri saya. Saya berasal dari keluarga multikultural. Ibu saya berasal dari “Bumi Parahyangan” yaitu suku Sunda, sementara ayah saya berasal dari suku Melayu di Bangka. Multikulturalisme yang ada dalam keluarga saya cukup terasa jelas. Percampuran karakteristik antara dua suku (Sunda-Melayu) tercermin pada diri saya. Sosok pribadi saya yaitu seseorang yang ramah, ceria, humoris, cerewet, mudah tersulut emosi, mudah panik, galak. Meskipun saya berasal dari orangtua yang multikultural, tetapi ketika ditanya apa suku saya maka saya akan menjawab Sunda. Bukannya saya mau menghilangkan garis keturunan suku Melayu yang saya miliki, melainkan karena saya lahir dan dibesarkan di daerah sunda, Sukabumi. Bahasa daerah yang saya kuasai yaitu bahasa sunda. Dari kecil hingga saat inipun lingkungan tempat tinggal saya berbahasa sunda. Jika saya mendengarkan percakapan dengan bahasa melayu-Bangka, saya hanya bisa diam karena tidak begitu mengerti. Tetapi dengan kondisi seperti ini malah membuat saya tertarik untuk mendalami budaya melayu-Bangka dan singgah mengunjungi Bangka.
Konsepsi budaya pada diri saya bisa digambarkan melalui beberapa aspek. Keluarga, orangtua saya mendidik anak-anaknya dengan pola asuh demokratis. Kesibukan yang mereka jalani memiliki konsekuensi terhadap anak-anaknya untuk bisa mandiri, tentunya masih diserta juga dengan pengawasan. Pendidikan, sejak SD sampai kuliah saya bersekolah di institusi pendidikan negeri. Dengan kehidupan keluarga yang sederhana, hal ini bisa membuat orangtua saya merasa bangga karena tak perlu menghabiskan banyak dana untuk pendidikan. Peran, peran saya dalam keluarga yaitu sebagai anak pertama dan seorang kakak. Berperan sebagai anak pertama membuat saya diharapkan mampu menjadi teladan bagi adik saya. Saya mengakui peran saya sebagai kakak belum optimal, namun selama saya masih bisa melakukan sesuatu yang berguna baginya saya akan terus berusaha. Peran dalam masyarakat yaitu sebagai salah satu generasi penerus bangsa. Meskipun belum bisa memberikan kontribusi yang besar pada bangsa ini, saya melakukannya melalui hal-hal sederhana. Misalnya dengan belajar sungguh-sungguh, terus meningkatkan kepedulian sosial dengan memperhatikan dan memahami isu-isu sosial yang ada di masyarakat. Cara itulah yang saya lakukan sebagai cara awal memberikan kontribusi bagi bangsa ini.
Setiap individu memiliki kultur, lingkungan sosial-ekonomi, nilai-nilai, gaya hidup yang berbeda dengan individu lainnya. Proses konseling melibatkan dua orang atau lebih dengan keberagaman budayanya. Pada situasi ini dibutuhkan keterampilan khusus seorang konselor dalam berhadapan dengan konseli yang berbeda kultur. Seorang konselor profesional harus mampu menciptakan suasana konseling yang bebas dari kesenjangan budaya antara konselor dan konseli. Dalam Kajian Sosial-Budaya dalam Bimbingan dan Konseling dijelaskan bahwa perbedaan nilai antara konselor dan konseli merupakan hal yang wajar. Konselor harus menghormati nilai yang dianut konselinya. Kesadaran dan sikap pengertian konselor tentang budaya konseli. Berasal dari keluarga yang multikultural membuat saya merasa beruntung. Dengan kondisi keluarga dengan beragam kultur di dalamnya menjadikan saya memiliki rasa toleransi dan saling menghormati perbedaan budaya. Hal ini menjadi salah satu bekal saya sebagai seorang calon konselor. Implikasi dalam kehidupan sehari-hari saya lakukan dimulai dengan hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya dengan menghargai pendapat orang lain; mencoba memahami perasaan yang sedang dialami teman terutama saat mereka sedih; saya juga tertarik untuk mengenal beragam budaya di sekitar, caranya dengan menyicipi berbagai jenis makanan khas daerah-daerah. Cara yang saya lakukan mungkin kelihatannya biasa saja, tetapi menurut saya dengan cara sederhana itulah saya bisa belajar untuk mengenal, memahami, dan pada akhirnya menghormati keragaman budaya yang ada.
.created by nadia.

1 komentar:

Mahlani mengatakan...

Salam
Terima kasih telah berbagi pengetahuan tentang profeso konselor. Kemuliaan selalu menjadi bagian dari orientasi hidup kita. makassih

Posting Komentar